+ -

Pages

16.11.25

Berharga dan Tak Berharga


Salah satu konsekuensi memiliki anak adalah rumah berantakan. Setiap hari mereka menyulap rumah tampak seperti kapal pecah. Meskipun sudah diajarkan agar segera membereskannya setelah selesai, pada praktiknya orang tualah yang tetap harus turun tangan.


Pagi itu seperti biasa, saya beberes rumah. Terlihat ada potongan-potongan kertas kecil yang berserakan di sela-sela mainannya. Saya anggap benda itu seperti sampah belaka. Disapu dan dibuang ke tempat sampah. Selesai dari beres-beres itu si bocil bangun dan menanyakan potongan-potongan kertas itu. Mengetahui bahwa kertas itu saya buang, ia menangis sedih. Rupanya malam tadi kertas-kertas itu ia gunakan untuk mainan masak-masakan. 


“Mana saya tahu itu barang penting buat dia. Padahal tinggal potong kertas lagi kan simpel, tidak perlu nangis,” batin saya. Dalam pandangan saya, kertas-kertas itu hanya seperti sampah dan membuat rumah kotor. Namun bagi dia, ternyata benda sepele itu justru sangat berharga. 


Anak kecil memang belum mampu membedakan mana barang yang benar-benar bernilai dan mana yang tidak. Bagi mereka, potongan kertas serta mainan-mainan itu nilainya lebih berharga dari BPKP atau sertifikat rumah. Mereka belum memahami nilai keberhargaan barang itu. Pemahaman mereka masih sederhana, sebatas apa yang menyenangkan dan membuat mereka nyaman.


Namun renungan itu kemudian berbalik kepada diri saya sendiri. Apakah benar BPKP, sertifikat rumah, dan harta benda lain sayang saya miliki sungguh-sungguh berharga dan bernilai tinggi? Apakah pemahaman saya sudah benar atau jangan-jangan saya berada di posisi yang sama seperti si bocil yang mengira sesuatu sangat berharga, padahal mungkin tidak ada nilainya dari sudut pandang yang lebih tinggi.


Untuk mencari jawabannya kita bisa bersandar pada manusia paling mulia di dunia ini, yakni Rasulullah. Sosok yang sudah memahami betul seluk beluk dunia dan akhirat. 


Pernah suatu kali beliau terbangun dari tidur dan pada tubuh beliau tampak bekas kasar dari tikar kurma yang menjadi alas tidur. Para sahabat merasa iba dan menawarkan untuk membuatkan alas yang lebih nyaman. Namun Rasulullah bersabda, “Apa urusanku dengan dunia? Tidaklah aku di dunia ini melainkan seperti seorang pengendara yang berteduh sejenak di bawah pohon, kemudian pergi meninggalkannya.” (HR. Tirmidzi).


Ada satu peristiwa lain ketika Rasulullah berjalan bersama para sahabat di pasar. Beliau menemukan bangkai anak kambing yang telinganya cacat lalu mengangkatnya dan bertanya, “Siapa di antara kalian yang ingin memilikinya dengan satu dirham?” Para sahabat menjawab bahwa mereka tidak ingin memilikinya karena cacat, jelek, dan sudah menjadi bangkai. Lalu Rasulullah bersabda, “Demi Allah, dunia itu lebih hina di sisi Allah daripada bangkai anak kambing ini di mata kalian.” (HR. Muslim).


Betapa jelas cara Rasulullah melihat dunia, yaitu barang yang hina, tak bernilai, dan tak layak diperjuangkan sebagai tujuan hidup.


Dalam hadits lain beliau bersabda, “Seandainya dunia itu sebanding di sisi Allah dengan sayap seekor nyamuk, niscaya Allah tidak akan memberikan seteguk air pun kepada orang kafir.” (HR. Tirmidzi). Dunia yang kita perebutkan sepanjang hidup ini ternyata tidak lebih berharga daripada sayap seekor nyamuk, sesuatu yang nyaris tidak terlihat dan tak memiliki nilai.


Dan dalam perumpamaan lain Rasulullah bersabda, “Demi Allah, tidaklah dunia dibandingkan akhirat kecuali seperti seseorang dari kalian mencelupkan jarinya ke laut, maka lihatlah apa yang tersisa di jarinya jika ia keluarkan dari laut?” (HR Muslim). Tetesan kecil itu adalah dunia, sedangkan lautan yang luas adalah akhirat. 


Betapa kecilnya dunia yang selama ini kita kejar dan dari yang kecil itu betapa sedikitnya bagian yang didapatkan dengan segala kepayahan yang kita lakukan.


Dari semua pandangan Rasulullah itu, saya kembali memikirkan potongan-potongan kertas yang membuat si bocil menangis. Ia sedih karena tidak mampu membedakan mana yang benar-benar berharga (berdasarkan pandangan kita). Tetapi mungkin saya pun demikian, kadang bersedih, kecewa, dan berlelah-lelah mengejar sesuatu yang ternyata tidak lebih dari bangkai kambing, sayap nyamuk, atau setetes air di ujung jari.


Pada akhirnya, mungkin kita semua adalah anak-anak yang sedang belajar membedakan mana yang benar-benar berharga. Dan semoga Allah memberi kita pemahaman yang benar agar tidak salah memilih harta mana yang patut diperjuangkan.

5 Khairul Arifin: 2025 Salah satu konsekuensi memiliki anak adalah rumah berantakan. Setiap hari mereka menyulap rumah tampak seperti kapal pecah. Meskipun sudah d...

25.6.25

Jakarta, Kemacetan, dan Waktu Hidup yang Terkuras


Kemacetan adalah wajah Jakarta. Ia menjadi identitas dan jati diri yang dibentuk oleh kehidupan warga yang menjadikan kota ini sebagai episentrum segala aktivitasnya.


Setiap hari jutaan orang bergerak dari satu titik ke titik lain dengan berbagai macam ambisi dan harapan. Ada yang bekerja di perkantoran elit SCBD, ada memacu kuda tempurnya untuk melayani pelanggan, dan tidak sedikit yang rela menjadi bagian dari kemacetan agar gaji tidak dipotong.   


Sepanjang Jalan Mampang, Sudirman, Gatot Subroto, atau mana pun, kendaraan berderet seperti gelombang yang mengalirkan manusia menjemput rezekinya. Mengisi jalanan protokol sampai gang-gang tikus di perkampungan kota. Dan sialnya kemacetan terjadi setiap waktu. 


Sementara kita sampingkan dulu perdebatan antara pengguna kendaraan pribadi dan transportasi publik. Toh kalaupun orang-orang yang pakai kendaraan pribadi dipaksakan untuk menggunakan transportasi publik, sistemnya juga belum siap. 


Bagi saya, menggunakan motor untuk melaju dari Depok ke Jakarta adalah pilihan yang masuk akal dan masuk di kantong. Rata-rata perjalanan berangkat ke kantor menghabiskan waktu 1-1,5 jam dengan pengeluaran bensin Revvo 92 (milik Vivo) sebesar 40-an ribu perminggu. Jika transportasi publik dari Depok bisa menawarkan harga yang lebih murah dan/atau waktu tempuh yang lebih cepat, mungkin saya akan pikir untuk beralih. 


Barangkali pertimbangan yang saya gunakan untuk memilih moda transporasi ini juga yang dipikirkan kebanyakan orang sehingga tak ayal Jakarta dinobatkan menjadi kota termacet ke-7 di dunia berdasarkan rilis INRIX 2024 Global Traffic Scorecard. 


Iseng-iseng saya coba hitung bareng Mr ChatGPT terkait waktu yang saya habiskan di jalanan sejak saya menginjakkan kaki untuk bekerja di Jakarta pada 1 Mei 2017 dengan asumsi saya sudah tinggal di Depok sejak itu. 


Hingga 19 Juni 2025 ini berarti saya telah menghabiskan sekitar 5.815 jam, atau setara dengan 242 hari penuh, hanya untuk perjalanan pulang–pergi dari Depok ke Jakarta pada hari kerja. Angka ini dihitung berdasarkan estimasi waktu tempuh rata-rata 3 jam dengan asumsi bekerja selama 5 hari per minggu dan 12 hari cuti tahunan.


Apabila saya tetap tinggal di Depok hingga pensiun pada 1 Juni 2049, total waktu yang dihabiskan di jalan mencapai 22.902 jam atau setara dengan lebih dari 2,6 tahun. Waktu yang cukup banyak untuk melakukan apa saja. 


Belum lagi soal kesehatan. Terpaan polusi asap dan kadar PM2.5 di Jakarta yang melebihi ambang batas aman WHO bisa berdampak pada risiko penyakit jantung, gangguan pernapasan, hingga penurunan fungsi kognitif. Kondisi ini juga berpengaruh menurunkan angka harapan hidup hingga beberapa tahun. 


Jadi, secara tidak langsung, setiap kali kita menghabiskan waktu di jalan, kita juga mungkin sedang mengorbankan usia kita sedikit demi sedikit.


Pagi berangkat kerja diiringi kemacetan, malam hari pulang dalam keadaan capek masih bermacet-macetan. Belum sempat tubuh pulih, besok harus kembali berjuang di jalan yang sama. Dan kondisi ini tidak berubah saat weekend: tetap macet-macetan ke tempat publik untuk healing sebentar, lalu pegal-pegal kemudian. 


Lalu dari dalam benak muncul pertanyaan, apakah saya harus terus hidup seperti ini sampai mati di Jakarta? Atau mungkin apakah cukup tinggal sementara waktu, lalu pulang ke desa menjalani hidup yang lebih tenang?

5 Khairul Arifin: 2025 Kemacetan adalah wajah Jakarta. Ia menjadi identitas dan jati diri yang dibentuk oleh kehidupan warga yang menjadikan kota ini sebagai epise...
< >